Berdialog Dengan Teroris
BERDIALOG DENGAN TERORIS (BELAJAR DARI PENGALAMAN ARAB SAUDI DALAM MENUMPAS TERORISME)
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA
Pengantar
Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh dari ketaatan. Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak agamanya dari sisi ini. Para Ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat. [1]
Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Godaan syubhat (dapat) ditangkis dengan keyakinan (baca : ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.”[2]
Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudûd, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudûd untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudûd, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat dari seseorang.
Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para Ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasehati ‘pemilik’ syubhat agar bisa (mau) kembali ke jalan yang benar.
Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasehat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma yang mendatangi kaum Khawarij secara langsung untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang. Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang bertaubat dari kesalahan pemikiran mereka.[3]
Juga tercermin pada kisah Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhuma yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jâbir Radhiyallahu anhuma tentang pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits, dan akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang saja.
Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah Sahabat Jâbir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma.
Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insyaf, namun tetap memegangi pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal. Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insyaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah (jihad) yang mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azz wa Jalla dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundit-pundi pahala mereka.
Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan Ulama Ahlus Sunnah untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar gerakan terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menyuguhkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi .
Arab Saudi dan Terorisme
Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Laden akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’ dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Harian ASHARQ AL-AWSATH telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi.[4] Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorisme diimpor dari negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari obyektifitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.
Tapi tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munâshahah (Komite Penasehat).
Apa itu Lajnah al-Munashahah?
Lajnah al-Munâshahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (dibawah pimpinan Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasehat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munâshahah memulai aktifitasnya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi.[5]
Lajnah al-Munâshahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
- Lajnah ‘Ilmiyyah (Komisi Ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syari’ah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
- Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan jika ternyata masih dinilai berbahaya.
- Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi Psikologi dan Sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
- Lajnah I’lamiyyah (Komisi Penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat. [6]
Teknik Dialog
Hampir tiap hari Lajnah al-Munâshahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasehat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah (bersifat diperbolehkan syariat) agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, pejanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab.[7]
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu per satu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya[8]
Mereka segera menyadari bahwa dialog ini justru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat pada pikiran mereka. Rupanya, mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan mereka pun dengan senang hati mereguknya.[9]
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada Ulama yang mumpuni dan memiliki ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini, Lajnah al-Munâshahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah.[10]
Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan audio-visual dan tambahan efek pada kaset dan video ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi badai yang berbahaya.
Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio al-Quran al-Karim, radio pemerintah yang didukung penuh oleh para Ulama besar Arab Saudi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para Ulama.[11]
Program dan Sarana Penunjang
Program dialog juga ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan fisik para tahanan. Berbeda dengan metode Guantanamo yang menyiksa, para tahanan justru diberikan keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka dan melakukan kegiatan refreshing.
Akses kunjungan keluarga dibuka lebar-lebar, karena hubungan yang baik dengan keluarga adalah faktor penting yang mendorong mereka keluar dari pemikiran rancu mereka. Bahkan saat dilepas, pemerintah memberikan mereka rumah, membiayai kebutuhan anak-anak mereka, bahkan membantu menikahkan mereka yang belum menikah. Intinya, mereka dibuat sibuk dengan tanggung- jawab keluarga, sehingga tidak lagi tergoda untuk kembali ke aktifitas negatif yang dahulu mereka lakukan atau persahabatan buruk yang membuat mereka jatuh dalam syubhat. Keluarga mereka juga mendapat arahan khusus untuk mendukung program ini dan menjaga agar keberhasilan munâshahah di penjara tidak pudar di rumah.[12]
Sebelum dilepas kembali ke masyarakat, para tahanan ditempatkan di pusat-pusat pembinaan berupa vill-villa peristirahatan tertutup yang memiliki fasilitas lengkap berupa kelas-kelas pembinaan dan sarana olahraga. Di pusat pembinaan yang dinamai Prince Mohammed bin Nayif Center for Advice and Care ini, program dialog tetap berjalan, ditambah kegiatan-kegiatan pemasyarakatan seperti pelatihan seni rupa dan kursus ketrampilan berijazah. Secara berkala, mereka juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga mereka untuk jangka waku tertentu dengan pengawasan.[13]
Sangat Berhasil, Meskipun Kadang Gagal
Program munâshahah ini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa. Banyak teroris yang berhasil diluruskan kembali pemikiran dan akidahnya sehingga bisa kembali diterima masyarakat. Hanya sedikit sekali yang yang kembali ke jalan terorisme dari ribuan orang telah mengikuti dialog.
Seorang bernama Zabn bin Zhahir asy-Syammari, eks tahanan Guantanamo yang telah mengikuti program munâshahah mengatakan bahwa program ini telah berhasil dengan baik dan orang-orang yang mengikutinya telah memetik faedah yang besar. Tidak lupa, ia mengucapkan terima kasih atas diadakannya program yang penuh berkah ini.[14]
Tapi seperti usaha manusia yang lain, dialog ini juga kadang menemui kegagalan. Salah satu kegagalan yang masyhur adalah kembalinya 7 eks tahanan Guantanamo ke pemikiran mereka selepas dari penjara. Allâh Azz wa Jalla tidak membukakan hati mereka untuk nasehat yang telah disampaikan. Sebabnya bisa jadi karena pemikiran takfir sudah mendarah-daging pada diri mereka, atau tidak terwujudnya beberapa faktor pendukung dalam dialog. Ada juga yang berpura-pura setuju dengan apa yang disampaikan Lajnah Munâshahah secara lahir saja, tanpa kesungguhan batin.[15]
Menurut ‘Abdul ‘Azîz al-Khalîfah, anggota Lajnah al-Munâshahah, ada tahanan yang penyimpangannya karena ketidaktahuan atau karena terpedaya. Orang seperti ini akan mudah diajak dialog dan cepat menyadari kesalahan. Ada juga yang penyimpangannya terbangun di atas prinsip yang menyimpang atau kesesatan yang sudah lama dipeluknya. Yang demikian lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra[16]
Namun kegagalan kecil ini tidaklah mengurangi kegemilangan Kerajaan Arab Saudi dalam menumpas terorisme. Bagi pemerintah Arab Saudi, pemikiran tidak cukup dihadapi dengan senjata, tapi juga harus dilawan dengan pemikiran.[17] Dunia internasional pun mengakui keberhasilan ini. Masyarakat dunia menyebutnya sebagai “Strategi Halus Saudi” atau “Kekuatan Yang Lembut”,. Sudah banyak pula negara yang belajar dari pengalaman Arab Saudi dan mentransfernya ke negara mereka.[18]
Penutup : Bagaimana Dengan Indonesia?
Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorisme. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktekkan di Arab Saudi insyâ Allâh juga akan berhasil di Indonesia. Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi Nusantara, agar fitnah terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, bukan dengan peluru!
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dîn Yakûnu at-Tafjîru Jihâdan?, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, hlm. 3, at-Tahdzîr min asy-Syahawât, ceramah DR. Sulaimân ar-Ruhaili
[2] Ighâtsatul Lahafân, Ibnul Qayyim 2/167
[3] Sunan al-Baihaqi 8/179
[4] Harian ASHARQUL- AUSATH edisi 9297, 12 Mei 2004
Lihat: http://www.aawsat.com/details.asp?article=233530&issueno=9297
[5] Wawancara DR. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Harian al-Riyâdh edisi 13.682.
[6] Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su’ud ‘Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[7] Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su’ud ‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[8] Wawancara DR. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh edisi 13.682
[9] Wawancara DR. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh edisi 13.682
[10] Wawancara DR. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyâdh edisi 13.682
[11] Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Harian al-Riyâdh edisi 13.682
[12] Markaz Muhammad bin Nayif lil Munâshahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257
[13] Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayef lir Ri’âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com
[14] Harian al-Riyâdh edisi 14.848, Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayef lir Ri’âyah asy-Syâmilah wal Munâshahah, assakina.com.
[15] Harian al-Riyâdh edisi 14.848
[16] Harian al-Riyâdh edisi 14.848.
[17] Markaz Muhammad bin Nayef lil Munâshahah, Su’ud ‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Horan al-Wathan edisi 3.257
[18] Koran al-Riyadh edisi 15.042.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3160-berdialog-dengan-teroris.html